Saat ini pun masih belum berubah... aku
masih tertegun saat menatap semburat tawa di wajahnya.
Satu
tahun berlalu, kukira hidupku sudah baik baik saja tanpanya. Banyak hal terjadi. Tak jarang aku bisa merasa bahagia saat
sedang dekat dengan beberapa lelaki yang sempat singgah. Sampai pada akhirnya,
kau datang lagi dan mengubah putaran duniaku. Kemudian tanpa sadar aku tersedot
kedalam lubang waktu itu. Lubang waktu yang butuh waktu satu tahun untukku
benar benar bisa keluar dari sana. Seperti rekoleksi memori, kau membawaku
kembali pada waktu itu. Satu tahun lalu, aku yang teramat mencintaimu.
Malam
itu kau kembali, menyapaku dengan kehangatan khas dirimu. Tatapan hangat,
senyuman hangat, dan genggaman tanganmu yang hangat. Saat itu aku sudah
berjanji pada hatiku untuk tidak tergetarkan oleh pesonamu. Namun sayang, di
malam itu juga aku kembali jatuh padamu. Dan aku sadar akan satu hal;
pertahanan yang kubangun selama kurun waktu ini telah sepenuhnya hancur. Sia
sia.
Dan apa
yang akan terjadi dapat kutebak. Waktu yang mengharuskanku untuk selalu bertemu denganmu. Mau tak mau, suka tak suka. Pertemuan demi pertemuan itu menjadi waktu
berharga bagiku dimana aku dapat dengan leluasa memahamimu. Mengamati mu dari
jauh. Aku dapat lebih banyak belajar tentangmu, yang sedikit banyak telah berubah
sejak terakhir kali aku mengenalmu. Ada getir dihatiku saat aku sadar, aku
harus belajar banyak tentangmu lagi, padahal aku merasa aku sangat mengenalmu.
Dulu.
“Ah..kau
yang sekarang lebih mudah untuk tertawa lepas” “Sejak kapan lelaki ku ini bisa
begitu ekspresif saat bercengkrama dengan orang banyak?” “Kau lebih mempesona
saat kau tunjukan ekspresi yang sedang kau rasakan saat itu. Sayang dulu kau
tak begitu”
Gumaman
dan pertanyaan terus muncul saat aku menatapmu dari kejauhan. Sudah seberapa
banyak lelaki yang dulu begitu bisa menenangkanku ini berubah, siapa yang bisa
membuatmu menjadi seperti ini, bagaimana kau bisa menjalani hidupmu dengan baik
baik saja tanpaku selama ini. Apakah kau tau, aku tertwa getir saat melihatmu
tertawa lepas dari kejauhan. Sebegitu besarkah perubahan yang ada dalam dirimu
saat tanpa aku dihidupmu, kenapa bukan aku yang menemanimu melewati perubahan
perubahan itu.
Satu
tahun yang lalu, di depan lampu kota itu aku dengan tenang memberimu keputusan.
Keputusan yang membawaku pada penyesalan mendalam. Keputusan untuk mengakhiri
kita menjadi aku dan kamu. Sama seperti dulu, jauh sebelum kita saling
mengenal. Sebelum aku yang begitu mengandalkanmu dengan segala kecerobohanku.
Sebelum kamu yang menjadi begitu terbiasa dengan panggilan daruratku yang
selalu menghubungimu untuk meminta bantuan. Sebelum kejadian di malam itu, saat
aku dan kamu menjadi kita. Awalnya ku kira semua masalah akan selesai dan kita
akan baik baik saja. Aku kira harusnya aku menerima penghargaan karena merasa
semua masalah yang menghimpit kita selama ini terselesaikan dengan keputusan
konyolku. Aku kira beban disetiap akhir pekan saat waktumu untuk menghadap
Tuhanmu harus terenggut oleh ku yang membutuhkanmu untuk menemaniku bermain,
aku melihat raut gelisahmu saat kau meninggalkan kewajiban ibadahmu atau
tatapan aneh orang disekeliling yang
melihatmu hanya duduk diatas motor bukan masuk ke dalam masjid bersamaku, atau
pembicaraan yang tak pernah menemukan ujung kita mengenai bagaimana hubungan
ini harus berakhir akan terselesaikan dengan keputusanku saat itu.
Aku
masih ingat dengan jelas raut terkejut yang terpancar diwajahmu saat aku
mengungkapkan hal tersebut. Aku masih ingat saat kau masih mencoba menyangkal
mempercayaiku dengan mengatakan aku konyol. Dan aku masih ingat dengan jelas
bagaimana aku dengan tegas mengatakan aku tidak sedang dalam kondisi bercanda
saat mengatakan itu.
Dan
begitu saja, malam itu juga kita melebur menjadi hanya aku dan kamu. Hanya ada
aku, dan kamu. Setelah itu tanpa sadar hari hari yang kulalui terasa lebih
berat dibanding saat ada kamu. Aku begitu saja memulai aktifitasku tanpa adanya
pesan manismu di ponselku, aku begitu saja menjalani hari hariku tanpa kamu
yang dulu menemaniku. Meskipun kadang aku lupa memencet nomormu saat aku dalam
kesulitan, selebihnya aku berusaha untuk baik baik saja. Saat ulang tahunku,
kau masih mengingatnya dengan mengirimkan pesan singkat yang berisi doa tulus
darimu, sesekali kau bertanya mengenai kabarku tapi aku berusaha untuk tetap
tak bergeming. Aku tak mau jatuh lagi.
Sampai
saat malam itu, malam dengan bau tanah khas hujan yang tak akan kulupa seumur
hidupku. Karena malam itu waktu ku seakan kembali, karena malam itu malam
dimana aku mengalah pada hatiku dan jatuh padamu lagi.
Mungkin
pesan ini tak akan sampai kepadamu, namun jika ada keajaiban dan kau membaca
pesan ini ketahuilah; malam ini aku menulis kembali rangkaian cerita kita tanpa
adanya penyesalan. Ketahuilah, bersamamu aku sempat merasa damai dan bahagia.
Bersamamu aku merasa tidak membutuhkan apapun lagi. Bersamamu aku bisa meredam
seluruh ego dan ambisiku. Dan bersamamu, aku merasa aku adalah wanita paling
beruntung di dunia ini. Saat kau membaca pesan ini, ketahuilah; sampai saat ini
kau masih memiliki ruang khusus
dihatiku. Aku memang tak berani berjanji akan menunggumu selama sisa hidupku,
namun yang pasti ‘ruangmu’ tak akan pernah terisi oleh lelaki lain. Karena
hangat yang kurasa pasti akan berbeda. Dan saat kau membaca pesan ini,
ketahuliah; aku sangat berterimakasih padamu. Terimakasih telah memilih aku
dulu sebagai wanitamu diantara ribuan wanita yang jauh lebih baik dariku.
Terimakasih untuk mau menghargai keputusaku dengan dalih demi kita. Terimakasih
sudah menerima dan tidak merengek kepadaku untuk membatalkan keputusan itu.
Terimakasih karena telah membantuku melewati hari hari sulit tanpamu dengan
tidak menghubungi ku lagi setelah malam itu dan memberiku waktu dan ruang untuk
bergerak sendiri saat tanpamu. Terimakasih masih mengkhawatirkanku dengan
sesekali menanyakan kabarku. Terimakasih masih mau menyapaku dengan hangat
meskipun aku dulu sempat membuatmu teramat kecewa. Terimaksih masih
memperlakukanku dengan baik tiap kali kita bertemu, dan terimakasih untuk tidak
menerimaku kembali saat aku merengek memintamu kembali. Terimakasih untuk
menyadarkanku kembali alasan mengapa aku dulu memintamu menjauh dariku. Dan
terakhir, terimakasih karna kau sangat mencintai keyakinanmu dengan tetap
mempertahankan keimanmu bukannya berlari padaku. Dengan kepribadianmu itu,
bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padamu? Bagaimana bisa aku tetap bertahan
di dinding itu dan tak jatuh lagi. Mengagumimu sama sekali tidak menimbulkan
sesal dihatiku, bahkan mencintaimu bukan menjadi kesalahan dalam hidupku.
Darimu aku banyak belajar mengenai kehidupan, belajar bagaimana saling
menerima, belajar menjadi pribadi yang sabar, dan belajar bagaimana memaknai
perbedaan. Di kehidupan selanjutnya, aku berharap Tuhan mempertemukan kita
menjadi satu Hamba-Nya, sehingga kita tak perlu merasa kesulitan saat ingin
saling mencintai. Di kehidupan selanjutnya, aku berharap aku yang menjadi
wanitamu, yang mendampingimu di setiap langkahmu. Dan di kehidupan sekarang,
mari kita hidup dengan baik,mengejar semua mimpi yang dulu pernah kita utarakan
bersama, meskipun saat ini kita harus menempuh jalan yang berbeda. Aku tau
mungkin aku terdengar egois, tapi bolehkah aku bertanya? Saat kau bahagia, saat
kau sedih, atau saat kau mengalami masa masa sulit akankah kau berpikir tentang
aku? Aku harap iya.
Yogyakarta,
21 Desember 2015
Selamat
Natal, untukmu lelaki kuginting/2015